17 September 2006
Jadi teringat juga dengan 1 peristiwa penting. WISUDA…
Wisuda saya juga tidak kalah menyedihkannya dengan ujian comprehensive dan yudisium.
Saya harus melewatinya sendiri, lagi.
Tidak benar-benar sendirian sebetulnya…
Bapak-Ibu mendampingi saya di acara universitas, tapi itu pun duduk terpisah, dan beliau pulang duluan sebelum acara usai karena harus segera berangkat merias pengantin.
Praktis, saya pun ditinggal sendirian!!!
Hasilnya, usai acara di universitas, saya melenggang sendirian menuju ke fakultas untuk mengikuti rangkaian acara yang lagi-lagi menjemukan.
Tak ada rangkaian bunga yang saya terima, ataupun teman apalagi orang tua yang menemani saya berjalan.
Haha, lumayan banyak juga orang yang memandang aneh kearah saya, wisudawan berjalan sendirian hanya ditemani ijazah dan toga yang melekat di badan.
Nelangsa…
Alhamdulillah, saya bertemu kakak saya dan tunangannya di widyaloka.
Di fakultas, saya sebagai salah satu anggota organisasi yang saya ikuti, mendapatkan kehormatan untuk berjalan melewati BUNGA PORA.
Semacam acara pedang pora, hanya saja bukan pedang, tapi bunga mawar merah.
Lagi-lagi saya harus melewati bunga pora seorang diri, tanpa bapak-ibu, ataupun pendamping wisudawan (PW).
Sialnya lagi, kakak saya tidak mengabadikan prosesi yang begitu penting bagi saya, lebih penting dari prosesi membosankan di fakultas, prosesi yang cuma bisa saya alami sekali seumur hidup!!! (haha, mungkin sama pentingnya seperti prosesi akad nikah)
Lengkap sudah, akhir cerita saya menyandang gelar mahasiswa benar-benar menyedihkan…
Mau tau komentar saya usai wisuda?
“Wis, mek ngene thok??? 4,8 tahun??? Halah, ngglethek!!!
Hehehe, benar-benar komentar bernada satir. Kekecewaan, dan kepedihan
Jadi teringat juga dengan 1 peristiwa penting. WISUDA…
Wisuda saya juga tidak kalah menyedihkannya dengan ujian comprehensive dan yudisium.
Saya harus melewatinya sendiri, lagi.
Tidak benar-benar sendirian sebetulnya…
Bapak-Ibu mendampingi saya di acara universitas, tapi itu pun duduk terpisah, dan beliau pulang duluan sebelum acara usai karena harus segera berangkat merias pengantin.
Praktis, saya pun ditinggal sendirian!!!
Hasilnya, usai acara di universitas, saya melenggang sendirian menuju ke fakultas untuk mengikuti rangkaian acara yang lagi-lagi menjemukan.
Tak ada rangkaian bunga yang saya terima, ataupun teman apalagi orang tua yang menemani saya berjalan.
Haha, lumayan banyak juga orang yang memandang aneh kearah saya, wisudawan berjalan sendirian hanya ditemani ijazah dan toga yang melekat di badan.
Nelangsa…
Alhamdulillah, saya bertemu kakak saya dan tunangannya di widyaloka.
Di fakultas, saya sebagai salah satu anggota organisasi yang saya ikuti, mendapatkan kehormatan untuk berjalan melewati BUNGA PORA.
Semacam acara pedang pora, hanya saja bukan pedang, tapi bunga mawar merah.
Lagi-lagi saya harus melewati bunga pora seorang diri, tanpa bapak-ibu, ataupun pendamping wisudawan (PW).
Sialnya lagi, kakak saya tidak mengabadikan prosesi yang begitu penting bagi saya, lebih penting dari prosesi membosankan di fakultas, prosesi yang cuma bisa saya alami sekali seumur hidup!!! (haha, mungkin sama pentingnya seperti prosesi akad nikah)
Lengkap sudah, akhir cerita saya menyandang gelar mahasiswa benar-benar menyedihkan…
Mau tau komentar saya usai wisuda?
“Wis, mek ngene thok??? 4,8 tahun??? Halah, ngglethek!!!
Hehehe, benar-benar komentar bernada satir. Kekecewaan, dan kepedihan